Recent Posts

Mutiara dalam Hitamnya Lumpur (Part 1) Oleh: Ahmad Hambali (Koordinator FoSSEI Regional jawa Timur) Kala itu sekelompok pemuka Nasran...

Mutiara dalam Hitamnya Lumpur (Part 1)

Mutiara dalam Hitamnya Lumpur (Part 1)
Oleh: Ahmad Hambali
(Koordinator FoSSEI Regional jawa Timur)

Kala itu sekelompok pemuka Nasrani dari Bani Najran hendak berkunjung ke Madinah. Ditemani beberapa Rabbi Yahudi bani Nadhir dan Quraidzah yang memang tinggal di Madinah, untuk suatu tujuan khusus bertemu sang pembawa risalah, Muhammad ibn Abdullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.  “Ya Muhammad”, seru mereka saat bertemu dengan Nabi. “Apakah dengan Islam ini engkau menyeru kami untuk menjadikanmu sesembahan di samping Allah?”.
            Lalu Allah menurunkan firman-Nya dalam potongan Surah Ali Imran. “Tidak patut bagi seorang yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, ‘Hendaklah kalian menjadi penghamba-hamba bagiku selain kepada Allah’. Akan tetapi, mestilah dia berkata, ‘Hendaklah kalian menjadi orang-orang Rabbani, disebabkan kalian senantiasa mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian senantiasa mempelajarinya’”. (QS. Ali Imran: 79).
            Ayat tersebut menjadi jawaban sekalian pukulan telak untuk para Pemuka Nasrani Bani Najran yang telah bersekutu untuk menodai Al-Kitab itu sendiri dan menjadikan Isa putra Maryam menjadi Tuhan mereka. “Sang Nabi sepenuh hati menyadari”, demikian Sayyid Quthb menegaskan dalam tafsir Fii Dzilalil Qur’an nya, “bahwa ia adalah seorang hamba dan hanya Allah saja sebagai Tuhan yang kepada-Nyalah semua hamba menunjukkan pengabdian dan Ibadahnya”. “Hal ini”, senada dengan Sayyid Qutbh, Imam Hasan Al basri menyampaikan, “untuk memberi peringatan kepada para Ahli Kitab yang telah menajdikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibnya sebagai Rabb-Rabb selain Allah. Yakni mereka halalkan apa yang haram dan mereka haramkan apa yang halal, lalu para pengikut mentaatinya”.
            Dalam ayat tersebut, Nabi yang agung dengan kesempurnaan akhlak dan aqidah meminta kepada ummatnya untuk tidak menyekutukan Allah dan menjadi orang-orang Rabbani. Ibnu Abbas memaparkan, “Yang disifati Rabbani adalah para ahli hikmah, ahli ilmu, dan para pemilik kesabaran”. Sedangkan Hasan Al Basri menggambarkan orang yang memiliki sifat Rabbani sebagai orang yang ahli ibadah kepada Allah dan ahli taqwa di tengah-tengah manusia. Masih dalam tafsirnya, ulama’ kelahiran kota Asyut, Mesir, Sayyid Quthb menegaskan, “Menghadaplah kepada-Nya saja dalam beribadah dan ambillah manhaj hidupmu dari-Nya saja, sehingga kamu menjadi orang tulus kepada-Nya dan kamu menjadi ‘Rabbani’”.
            Imam Ibn Jarir Ath-Thabari dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an telah memaparkan lima karakter yang harus dimiliki oleh seorang Rabbani. Kelimanya antara lain: ‘alim, faqih, bashirun bis siyasah, bashirun bit tadbir, al-qa’im bi syu’unir ra’iyah li yushlihu umura dinihim wa dun yahum.
            Pertama, seorang Rabbani haruslah seorang yang ‘alim atau berilmu. “Sungguh ilmu Allah itu adalah cahaya”, Nasehat Imam Waki’ kepada murid kesayangannya Muhammad ibn Idris atau yang kita kenal dengan Imam Syafii. “Dan cahaya Allah tak diberikan pada pendurhaka”, lanjut beliau. Mutiara yang sangat indah dari guru kepada muridnya. Asy-Syafii yang sudah hafal Al-Qur’an di umurnya yang ketujuh dan hafal kitab muwattha’-nya Imam Malik di usianya yang kesepuluh masih saja mengadu kejelekan hafalannya. Sang Imam pun menyuruhnya untuk meninggalkan maksiat. Masyaallah. Begitulah kisah hidup para salafus shalih hendak mengajarkan kepada kita, bahwa mendapat ilmu haruslah dengan kejernihan pikir, keputihan akhlak, kebeningan niat. Memang benar adanya, Ilmu ibarat cahaya, tidak dapat menembus kaca yang kotor, tak mampu menyinari dasar yang terairi air keruh nan berlumpur.
            “Jadilah seorang yang berilmu”, Umar ibn ‘Abdil Aziz menyampaikan, “atau jadilah seorang pembelajar. Atau cintailah keduanya”. Seandainya mencari muara dari aliran sungai kealiman dan kecintaan dalam ilmu seperti disebutkan umara yang terkenal keadilannya tersebut, maka muara itu bernama “belajar”. Karena ilmu hanya bisa dimiliki, dicari, dan disukai dengan belajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ilmu itu didapat dengan belajar. Dan Fiqh itu diraih dengan mengerahkan kemampuan untuk memahami”.
            “Sesungguhnya ilmu lebih utama dari harta”, Ali bin Abi Thalib memperbandingkan. Ilmu lebih utama dari harta, ia adalah warisan dari para nabi dan rasul. Sedangkan harta dilungsurkan Fir’aun, Qarun, dan raja-raja. Ilmu lebih utama dari harta, ia menjaga pemiliknya, sementara harta dijaga susah payah pemiliknya. Ilmu lebih utama dari harta, harta akan habis jika dibelanjakan, tapi ilmu terus bertambah jika dibagikan. Ilmu lebih utama dari harta, semua ibadah dan segala bentuk ketaatan kepada Allah haruslah dilakukan dengan ilmu, tapi banyak kekejian dan kemungkaran dapat dilakukan dengan harta. Ilmu lebih utama dari harta, ia menyertai pemiliknya hingga akhirat, adapun harta akan tetap tingal di dunia. Masih sangat banyak keutamaan ilmu daripada harta sebgaimana dirangkum oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah.
            Seoarang Rabbani yang alim selanjutnya tidak mengkotak-kotakkan antara ilmu duniawi dan ukhrawi. Karena keduanya adalah ilmu Allah. Meski ada prioritas yang lebih penting untuk didahulukan.  Imam Al-Ghazali dalam salah satu bagian di kitabnya Ihya’ Ulumuddin memaparkan hasil analisanya, “Kemunduran Islam pada abad IV Hijriah salah satu penyeb pentingnya adalah saling ejeknya para ahli ilmu yang memilah-milih bidang duniawi dan ukhrawi. Kala itu, mereka yang menekuni ilmu fiqh merendahkan para pembelajar ilmu hitung, tata perbintangan, ketabiban, perdagangan, hingga tata negara. Sebutan ‘budak dunia’ mereka gelarkan pada penuntut ilmu yang tidak melanjutkan diniyahnya lebih mendalam meski sebelum belajar segala ilmu itu mereka membekali diri dengan hafalan Al-Qur’an dan pemahaman dasar-dasar negara. Sebaliknya para ahli fiqh dihujat ‘munafiq’, dianggap menjual ilmu agama untuk kepentingan dunia”

            Menyandang gelar Rabbani adalah mereka yang mengalimkan diri; mengetahui banyak hal. Meski memfokuskan diri dalam bidang khusus, namun tidak menutup diri dari ilmu yang lain. Karena begitu banyak hal-hal luar biasa yang hadir bukan datang dari pendalaman hal-hal rinci, namun lahir dari titik temu dari berbagai ilmu yang pemiliknya berpikiran terbuka lagi punya tekad kuat untuk maju.

0 komentar: