Mutiara
dalam Hitamnya Lumpur (Part 1)
Oleh:
Ahmad Hambali
(Koordinator FoSSEI Regional jawa Timur)
(Koordinator FoSSEI Regional jawa Timur)
Lalu Allah menurunkan firman-Nya
dalam potongan Surah Ali Imran. “Tidak
patut bagi seorang yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia, ‘Hendaklah kalian menjadi penghamba-hamba
bagiku selain kepada Allah’. Akan tetapi, mestilah dia berkata, ‘Hendaklah
kalian menjadi orang-orang Rabbani, disebabkan kalian senantiasa mengajarkan
Al-Kitab dan disebabkan kalian senantiasa mempelajarinya’”. (QS. Ali Imran:
79).
Ayat tersebut menjadi jawaban
sekalian pukulan telak untuk para Pemuka Nasrani Bani Najran yang telah
bersekutu untuk menodai Al-Kitab itu sendiri dan menjadikan Isa putra Maryam
menjadi Tuhan mereka. “Sang Nabi sepenuh hati menyadari”, demikian Sayyid Quthb
menegaskan dalam tafsir Fii Dzilalil
Qur’an nya, “bahwa ia adalah seorang hamba dan hanya Allah saja sebagai
Tuhan yang kepada-Nyalah semua hamba menunjukkan pengabdian dan Ibadahnya”.
“Hal ini”, senada dengan Sayyid Qutbh, Imam Hasan Al basri menyampaikan, “untuk
memberi peringatan kepada para Ahli Kitab yang telah menajdikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahibnya sebagai Rabb-Rabb selain Allah. Yakni mereka
halalkan apa yang haram dan mereka haramkan apa yang halal, lalu para pengikut
mentaatinya”.
Dalam ayat tersebut, Nabi yang agung
dengan kesempurnaan akhlak dan aqidah meminta kepada ummatnya untuk tidak
menyekutukan Allah dan menjadi orang-orang Rabbani. Ibnu Abbas memaparkan,
“Yang disifati Rabbani adalah para ahli hikmah, ahli ilmu, dan para pemilik
kesabaran”. Sedangkan Hasan Al Basri menggambarkan orang yang memiliki sifat
Rabbani sebagai orang yang ahli ibadah kepada Allah dan ahli taqwa di
tengah-tengah manusia. Masih dalam tafsirnya, ulama’ kelahiran kota Asyut,
Mesir, Sayyid Quthb menegaskan, “Menghadaplah kepada-Nya saja dalam beribadah
dan ambillah manhaj hidupmu dari-Nya
saja, sehingga kamu menjadi orang tulus kepada-Nya dan kamu menjadi ‘Rabbani’”.
Imam Ibn Jarir Ath-Thabari dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an telah
memaparkan lima karakter yang harus dimiliki oleh seorang Rabbani. Kelimanya
antara lain: ‘alim, faqih, bashirun bis
siyasah, bashirun bit tadbir, al-qa’im bi syu’unir ra’iyah li yushlihu umura
dinihim wa dun yahum.
Pertama, seorang Rabbani haruslah
seorang yang ‘alim atau berilmu. “Sungguh
ilmu Allah itu adalah cahaya”, Nasehat Imam Waki’ kepada murid kesayangannya
Muhammad ibn Idris atau yang kita kenal dengan Imam Syafii. “Dan cahaya Allah
tak diberikan pada pendurhaka”, lanjut beliau. Mutiara yang sangat indah dari
guru kepada muridnya. Asy-Syafii yang sudah hafal Al-Qur’an di umurnya yang
ketujuh dan hafal kitab muwattha’-nya Imam Malik di usianya yang kesepuluh
masih saja mengadu kejelekan hafalannya. Sang Imam pun menyuruhnya untuk
meninggalkan maksiat. Masyaallah. Begitulah kisah hidup para salafus shalih hendak mengajarkan kepada
kita, bahwa mendapat ilmu haruslah dengan kejernihan pikir, keputihan akhlak,
kebeningan niat. Memang benar adanya, Ilmu ibarat cahaya, tidak dapat menembus
kaca yang kotor, tak mampu menyinari dasar yang terairi air keruh nan berlumpur.
“Jadilah seorang yang berilmu”, Umar
ibn ‘Abdil Aziz menyampaikan, “atau jadilah seorang pembelajar. Atau cintailah
keduanya”. Seandainya mencari muara dari aliran sungai kealiman dan kecintaan
dalam ilmu seperti disebutkan umara yang terkenal keadilannya tersebut, maka
muara itu bernama “belajar”. Karena ilmu hanya bisa dimiliki, dicari, dan
disukai dengan belajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Ilmu itu didapat dengan belajar.
Dan Fiqh itu diraih dengan mengerahkan kemampuan untuk memahami”.
“Sesungguhnya ilmu lebih utama dari
harta”, Ali bin Abi Thalib memperbandingkan. Ilmu lebih utama dari harta, ia
adalah warisan dari para nabi dan rasul. Sedangkan harta dilungsurkan Fir’aun,
Qarun, dan raja-raja. Ilmu lebih utama dari harta, ia menjaga pemiliknya,
sementara harta dijaga susah payah pemiliknya. Ilmu lebih utama dari harta,
harta akan habis jika dibelanjakan, tapi ilmu terus bertambah jika dibagikan.
Ilmu lebih utama dari harta, semua ibadah dan segala bentuk ketaatan kepada
Allah haruslah dilakukan dengan ilmu, tapi banyak kekejian dan kemungkaran
dapat dilakukan dengan harta. Ilmu lebih utama dari harta, ia menyertai
pemiliknya hingga akhirat, adapun harta akan tetap tingal di dunia. Masih
sangat banyak keutamaan ilmu daripada harta sebgaimana dirangkum oleh Syaikh
Muhammad Abu Zahrah.
Seoarang Rabbani yang alim
selanjutnya tidak mengkotak-kotakkan antara ilmu duniawi dan ukhrawi. Karena
keduanya adalah ilmu Allah. Meski ada prioritas yang lebih penting untuk
didahulukan. Imam Al-Ghazali dalam salah
satu bagian di kitabnya Ihya’ Ulumuddin memaparkan hasil analisanya,
“Kemunduran Islam pada abad IV Hijriah salah satu penyeb pentingnya adalah
saling ejeknya para ahli ilmu yang memilah-milih bidang duniawi dan ukhrawi. Kala
itu, mereka yang menekuni ilmu fiqh merendahkan para pembelajar ilmu hitung,
tata perbintangan, ketabiban, perdagangan, hingga tata negara. Sebutan ‘budak
dunia’ mereka gelarkan pada penuntut ilmu yang tidak melanjutkan diniyahnya
lebih mendalam meski sebelum belajar segala ilmu itu mereka membekali diri
dengan hafalan Al-Qur’an dan pemahaman dasar-dasar negara. Sebaliknya para ahli
fiqh dihujat ‘munafiq’, dianggap menjual ilmu agama untuk kepentingan dunia”
Menyandang gelar Rabbani adalah
mereka yang mengalimkan diri; mengetahui banyak hal. Meski memfokuskan diri
dalam bidang khusus, namun tidak menutup diri dari ilmu yang lain. Karena
begitu banyak hal-hal luar biasa yang hadir bukan datang dari pendalaman
hal-hal rinci, namun lahir dari titik temu dari berbagai ilmu yang pemiliknya
berpikiran terbuka lagi punya tekad kuat untuk maju.
0 komentar: